TASHAWWUF
Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di
kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini
sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan
kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak
akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini
diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh
orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang,
biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa
komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya
merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih)
Allâh Ta'ala.
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin
mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan
hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer
sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah
menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.
Imam
al-Barbahâri رحمه
الله mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan
ucapan beliau:
“Perhatikan
dan cermatilah –semoga Allâh Ta'ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan
satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru
untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau
tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah
disampaikan oleh para sahabat Rasulullah رضي
الله عنهم atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau
mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka)
berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah
(sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga
(akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”1
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang
hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau
tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf
adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat
رضي
الله عنهم, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama
(generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah
masa tiga generasi ini.1
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan
timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di
kota-kota (Islam) lainnya.2
Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir رحمه
الله berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa
al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika
kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan
ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf
yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas
antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali,
tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam
perjalanan sejarah Nabi Muhammad صلى
الله عليه وسلم dan para sahabat beliau رضي
الله عنهم yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari
hamba-hamba Allâh Ta'ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini
diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model
agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama
Budha”.
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf
adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada
amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan
ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
Post A Comment:
0 comments:
Post a Comment